Si Pecundang dan Giok Peninggalan Ibu
Shanghai, 1938
Wei Hwang
bersandar dalam posisi setengah tidur pada tumpukan-tumpukan pasir yang tepat
berada di sebelah sebuah bangunan setengah jadi yang terlihat kusam. Kendatipun
sejumlah pedagang mulai mempersiapkan dagangan mereka masing-masing, jalanan terasa
lenggang. Beberapa di antara mereka—para pedagang itu—berbisik-bisik
mendiskusikan harga barang-barang dagangan mereka. Beberapa perempuan paruh
baya pun sudah di sana untuk berbelanja kebutuhan keluarga mereka
masing-masing.
Napas Wei
Hwang naik-turun tidak keruan. Kendatipun matanya terpejam seakan tak bertenaga
untuk mengangkatkan kelopak mata, sesungguhnya ia semalaman tidak dapat
terlelap, menahan lapar, rasa sakit yang terus mengikis lambungnya, dan juga
kepalanya yang terasa berdenyut tak henti. Sekujur tubuhnya lemas, dingin
menggigil, dan sulit digerakkan. Tetapi, aroma bakpao seorang pedagang yang berjarak sepuluh meter
darinya membuatnya termotivasi untuk membuka mata dengan kesusahan, lantas
terhuyung-huyung berusaha bangkit, dan lekas sempoyongan menghampiri si
pedagang bakpao. Tubuhnya yang sangat tidak bertenaga spontan menghantamkan
diri pada kedai rongsok itu. Dengan mata terbelalak dan bibir yang bergetar,
Wei Hwang mengamati bakpao-bakpao di sana satu per satu.
“Hei, kau mau
apa...?” tanya si pedagang curiga. Diamatinya sekujur tubuh Wei Hwang yang
kumal dan mengeluarkan aroma tak sedap yang sukses mengeliminasi aroma harum
pada bakpao dagangannya. Secara refleks bulu kuduknya berdiri!
“Berikan aku
bakpao...” Jemari-jemari Wei Hwang terangkat dan mencoba meraih bakpao di
hadapannya.
“Tunggu!”
Dengan sigap si pedagang mencengkeram pergelangan tangan Wei Hwang. Cukup kuat
dan menimbulkan sakit. “Kau mau beli, biar kuambilkan,” tegasnya dengan tatapan
yang bertubrukan langsung dengan tatapan Wei Hwang.
“Beri aku
makan.... Aku hampir seminggu tidak makan dengan layak.”
“Menjauh jika
kau tidak ingin membelinya. Bekerjalah secara layak untuk makan dengan layak.”
Si pedagang mendorong tubuh Wei Hwang hingga jatuh terduduk. Tidak. Ia tidak mendorongnya
dengan kuat, tetapi sekujur tubuh Wei Hwang memang sangat lemas tak bertenaga.
“Aku... Aku
akan menukarnya dengan ini... Atau ini yang kau mau...?” Beberapa bungkus obat
dikeluarkan Wei Hwang dari balik pakaian kumalnya, lantas disodorkan pada si
pedagang. “Ini obat yang sangat bagus untuk menyembuhkan panas dalam anak, dan
ini untuk mengurangi rasa sakit pada sendi.” Dipaksakannya senyum di wajah.
Si pedagang
memelototi Wei Hwang dengan kesal. Dua detik kemudian, diraihnya batang sapu
dan diangkatnya tinggi-tinggi seraya mengancam, “Kuhajar jika kau masih di
sini! Pergilah sejauh seribu li hingga tak ada yang mengenalmu, jika kau ingin
menjual obat palsumu itu!”
Wei Hwang tafakur.
Ya, sepertinya dia tidak mungkin memperbaiki nama di sana, di mana semua warga
telah heboh mengenalinya sebagai tabib yang menjual obat palsu—obat giring yang
dicampur dengan tepung terigu. Dia semestinya orang terpandang, menantu pewaris
sebuah toko obat yang dirintis mertuanya yang merupakan seorang tabib ternama.
Hanya saja, semua itu berakhir, karena perjudian, penggunaan obat terlarang,
dan kebiasaan dalam mengunjungi bungalo di seberang jalan.
Tidak
memiliki pilihan lain, Wei Hwang lantas berkeras menggunakan sisa tenaganya
untuk menyerbu ke depan, melewati si pedagang, lantas merampas dua tiga bakpao
panas yang langsung didorong ke dalam tenggorokan.
“Dasar
bajingan busuk! Kuhabisi kau! Kuhabisi!” Dengan penuh emosi si pedagang lantas
menghantam Wei Hwang secara beruntun dengan batang sapu di genggamannya.
Orang-orang
di sekitar yang mendengar keributan itu lantas terpancing untuk menoleh,
sementara ada pula yang mulai melangkah mendekat. Wei Hwang mengacuhkan setiap
pukulan yang mendarat di tubuhnya, sementara masih terus berusaha meraih
bakpao-bakpao lainnya, yang tentu saja digagalkan si pedagang. Alhasil, ia
menerima banyak pukulan di perut, dada, mata, pipi, hingga gigi yang rontok ke
lantai bersamaan dengan darah yang berlepotan di bibir dan dagunya.
Tidak puas,
si pedagang lantas mengeluarkan sebuah pisau dari bawah mejanya. Tentu saja Wei
Hwang bakal kehilangan sepasang lengannya jika orang-orang di sekitar sedikit
saja terlambat mencegah amukan si pedagang. Keributan pun kian menjadi-jadi.
Ada yang menjerit, memaki, sementara anak bayi yang entah kapan berada di sana
pun menangis ketakutan. Orang-orang berusaha keras menahan tubuh si pedagang
yang bagai kerasukan roh kerbau, sementara yang lain menyeret tubuh Wei Hwang
sejauh mungkin.
Matahari
merangkak di atas ubun-ubun. Terik.
Warga berhasil
memindahkan Wei Hwang di tempat yang lebih aman, sebuah perempatan yang hanya
berjarak belasan meter dari sebuah kantor polisi. Ia kini duduk termenung
seraya mengusap pelan memar-memar di wajahnya. Sejumlah makanan sisa pemberian
warga—sebagian tidak lagi beraroma sedap—berserakan di samping. Ia tak lebih
layak dari pengemis mungkin, walau tidak terpungkiri berkat makanan-makanan itu
jugalah kini tenaganya sedikit pulih.
Wei Hwang
menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Bagaimana untuk besok, dan
bagaimana untuk seterusnya? Mungkin ia harus mencari pekerjaan baru, atau
mungkinkah ia memang harus menyingkir sejauh seribu li untuk kembali berjualan
obat? Jika ia tetap berada di tempat yang sama, tempat di mana semua telah
mengetahui hal-hal buruk yang pernah ia lakukan, akan menjadi mustahil untuk
melakukan apa pun, sekalipun dengan niat yang tulus. Tidak akan ada yang
berkenan mempekerjakannya, tidak ada pula yang berkenan membeli obat darinya.
Tapi, jika memang ia harus pergi ke tempat lain untuk membuka sebuah awal baru,
ia juga perlu memiliki sejumlah dana untuk kepentingan transportasi dan juga makan
sehari-hari.
Dengan pikiran
yang bercabang-cabang, Wei Hwang menyimpan satu per satu makanan pemberian
warga di balik bajunya, lantas bangkit dan berjalan dengan tidak semangat tanpa
tujuan yang jelas. Tetapi matanya tanpa sadar terpanah pada sebuah rumah pegadaian
di seberang jalan. Sontak benda itu melintas di benaknya. Ya! Benda peninggalan
ibunya yang selama ini masih tersimpan di balik pakaiannya!
Tanpa
berpikir lama, Wei Hwang menyeberangi jalan dan melangkah masuk ke dalam rumah
pegadaian yang dominan dicat warna merah dan cokelat. Alunan musik yang
dipancarkan dari sebuah piringan hitam pun terasa menyejukkan hati. Wei Hwang
menghampiri meja resepsionis dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari balik
bajunya.
“Jangan
katakan kau akan menggadaikan emas palsu di sini,” sindir si pemilik rumah pegadaian
begitu menyadari kedatangan Wei Hwang, si pecundang yang pagi-pagi buta telah
menimbulkan kehebohan yang dalam waktu singkat diketahui banyak orang dari
mulut ke mulut. Sebelum kejadian pagi tadi pun, tentu Wei Hwang memang sudah
terkenal sebagai pecundang yang menjual obat palsu.
Enggan
menghiraukan sindiran itu, Wei Hwang lantas membuka bungkusan kain itu.
Tersingkaplah sebuah barang indah yang ternyata sebuah gelang giok hijau
transparan. Permukaan giok itu terlihat mengkilap dan sangat halus, seakan
berair dan basah.
Si pemilik
rumah pegadaian terbelalak tak percaya. Pria gembul itu memperhatikan gelang
giok milik Wei Hwang dengan mulut yang menganga. Kurang ajar, si pecundang
kumal di hadapannya telah mencuri barang berharga dari siapa?! Tidak! Tidak
mungkin Wei Hwang memiliki barang berharga itu, sementara pagi tadi pecundang
itu hampir saja mati kelaparan.
“Kau pasti
tahu gelang giok ini berusia kira-kira berapa ratus tahun. Kau akan menghargainya
berapa? Katakanlah....”
Alis si
pemilik rumah pegadaian merapat, keningnya mengerut. Pipi tembemnya terlihat
semakin tembem dengan posisi kepala yang sedikit tertunduk. Tak lebih dari tiga
detik, sekonyong-konyong ia memekik, “Kurang ajar! Beraninya kau mencoba
menggadaikan barang curian di tempat saya. Keluar dari sini!” Tangan kiri
menunjuk jauh ke jalan sebagai isyarat meminta Wei Hwang meninggalkan
tempatnya, sementara tangan kanan mencengkeram erat gelang giok milik Wei
Hwang.
Wei Hwang
tentu saja kaget! Bagaimana mungkin kini ia malah dituduh mencuri gelang giok
yang jelas diwariskan ibunya, yang diserahkan langsung ke tangannya?!
Sebelum Wei
Hwang berpikir lebih jauh, si pria gembul pemilik rumah pegadaian telah
berhambur di tengah jalan seakan dengan sengaja menciptakan kehebohan baru.
“Bagaimana kau bisa mengambil barang ini dari istriku?! Dasar pecundang tak
tahu malu! Segera pergi sebelum kuserahkan kau ke kantor polisi!”
Wei Hwang
semakin kaget dan ikut berlari ke badan jalan untuk mencoba mengambil kembali
gelang giok miliknya. Bersamaan dengan itu, lagi-lagi kehebohan mulai tercipta
seperti pagi tadi. Orang-orang di sekitar lantas terpancing untuk menoleh,
sementara ada pula yang mulai melangkah mendekat. Ya, sama persis seperti kejadian
pagi tadi.
Menyadari
situasi tidak menguntungkan, Wei Hwang berusaha meminta kembali gelang gioknya
dengan nada bicara pelan dan bersahabat. Demi Tuhan, jika kejadian pagi tadi terulang,
meskipun ia adalah korban dalam hal ini, ia tetap seorang yang telah kehilangan
kepercayaan dari siapa pun.
“Tobatlah
kau, pecundang!”
“Pergilah kau
dari hadapan kami!”
“Setelah mati
kau bakal masuk neraka!”
“Seharusnya
pagi tadi kita biarkan dia mati saja!”
“Belum cukup
dia membuat keributan pagi tadi!”
“Bakar saja
dia sekarang!”
Wei Hwang
menatap berkeliling. Caci-maki menyerangnya secara beruntun dari berbagai arah.
“Dengarkan penjelasanku....”
“Jangan
percaya perkataannya. Berjudi, berfoya-foya, menjual obat palsu, bahkan mencuri
bakpao! Jangan-jangan dia juga merayu istriku untuk mendapatkan gelang giok
ini!”
Emosi meledak!
Wei Hwang menerkam ke arah si pria gembul, lantas mendaratkan bertubi-tubi
kepalan tangan dengan kerasnya di pipi tembem itu.
Warga sekitar
tentu tidak terima dan kali ini secara serentak mereka menyerang dan
membabak-belurkan Wei Hwang. Tidak seorang pun mengasihani Wei Hwang. Tidak
seorang pun menyerukan pengampunan bagi Wei Hwang. Tidak seorang pun mencoba
mempelajari kondisi sebenarnya untuk suatu keadilan bagi Wei Hwang. Ada yang
berperan mengunci kaki dan tangan agar ia tidak dapat bergerak mengelak, ada
yang menjambaknya, sementara yang lainnya berlomba-lomba memukulinya. Bebatuan
juga turut dihantamkan di kepalanya, bahunya, dadanya, hingga lututnya. Wei
Hwang dipastikan dihabisi di sana, jika bukan polisi yang datang tepat waktu
untuk membubarkan massa.
Dalam kondisi
sekujur tubuh yang bersimbah darah dipapah polisi menuju kantor yang hanya
berjarak belasan meter, Wei Hwang sempat menoleh dan mendapati gelang gioknya
telah pecah menjadi lima bagian, tercebur di antara lumpur. Spontan ia
menitikkan airmata dan menangis meraung-raung. Beginikah akhir yang harus ia
terima sebagai seorang penipu?
Tidak ada
yang bersedia mempercayai Wei Hwang, sekalipun ia semestinya adalah seorang
korban....
*
Oleh: Lea Willsen
BACA JUGA: