Tren Aksesori Giok di Kalangan Para Gadis


Penyuka aksesori giok datang dari berbagai golongan usia. Beberapa dari mereka mungkin adalah perempuan dewasa yang mencapai kepala empat, dan ada pula yang justru datang mencari giok untuk orangtuanya. Tidak sedikit pula, atau bahkan bisa dibilang mayoritas, justru adalah gadis-gadis muda berusia duapuluh atau tigapuluhan tahun. Dari fenomena ini, perlahan tapi pasti, tren aksesori giok akan kian menjalar pada kalangan gadis-gadis muda, dan akan berlangsung lama.
Salah satu keunikan dari aksesori giok ialah tidak akan pernah ditemukannya produk yang sama persis, oleh sebab masing-masing memiliki motif alami yang berbeda. Tentu saja ini hanya berlaku pada giok asli.
Tetapi, mengapa giok baru mulai menjadi tren di kalangan gadis negara kita sekarang? Padahal giok merupakan produk kreativitas yang sangat indah, dan jauh-jauh hari sebelumnya giok sudah menjadi populer bagi gadis-gadis dari negara seperti Tiongkok, Hongkong, Thailand, bahkan juga sejumlah negara barat lainnya.
Sedikit banyak hal ini berkaitan dengan rumor tidak jelas yang beredar turun-temurun sejak beberapa dekade lalu, khususnya di kalangan suku Tionghoa Indenesia, yang menjelaskan bahwa seorang perempuan yang belum menikah tidak boleh mengenakan giok. Sama sekali tidak ada penjelasan, mengapa tidak boleh, dan apa yang akan terjadi bila pantangan itu dilanggar. Tidak ada satu pun penjelasan yang sejalan dengan logika.
Praktis, pantangan itu membuat seolah giok memang hanya menjadi aksesori orang tua. Bahkan pengertian itu juga tertanam pada benak kaum-kaum adam. Sebut saja salah seorang saudara sepupu saya yang spontan mengatakan, “Oh, ini giok untuk orang tua?!” ketika ia mendapati foto salah satu gelang giok di komputer saya.
Lantas? Benarkah perempuan muda, gadis-gadis remaja memang tidak diperbolehkan mengenakan aksesori giok?! Sebelum kita menarik satu kesimpulan, pertama kita akan membahas beberapa hal terlebih dulu.
Seperti yang kita semua ketahui bahwa giok sebenarnya merupakan sebuah jenis batu. Jauh sebelum dibentuk menjadi gelang atau cincin dan aksesori lainnya, giok yang berada di alam bebas masihlah berupa bongkahan-bongkahan batu yang tidak berbentuk tetap, lumutan, dan juga kasar. Dan berbeda dengan masa kini di mana para pengrajin giok  asal Tiongkok telah dibekali berbagai peralatan modern dan canggih untuk membentuk suatu aksesori giok, di masa lalu untuk melakukan semua itu masihlah bukan perkara mudah. Giok yang indah hanya bisa dibentuk oleh mereka yang benar-benar terampil, dan lagi besarnya risiko kegagalan selama dalam proses pembentukan—misalkan retak atau pecah—membuat giok di masa lalu benar-benar adalah barang mewah, barang mahal, dan bahkan lebih berharga dari emas. Nilai suatu giok pun kian menanjak ketika itu menjadi barang yang di impor dari Tiongkok di Indonesia.
Alhasil, perempuan-perempuan di masa lalu amatlah menghargai giok yang dimiliki, entah karena itu barang warisan, atau barang yang dibeli dengan harga sangat mahal. Dan sama seperti yang sering kita lihat pada film, sebuah aksesori giok cenderung diwariskan kepada menantu yang menikah dengan putranya. Itu bisa diteruskan hingga banyak generasi, dari seorang mertua untuk menantu, kemudian seterusnya seperti itu.
Di balik itu, seorang yang memiliki anak perempuan pasti paham, kalau sesungguhnya anak perempuan adalah yang paling dekat dengan ibunya. Seorang anak perempuan menjadikan ibunya sebagai inspirasi atau idola. Bagaimana ketika sang ibu menggunakan lipstik atau bedak dan terlihat cantik, anak perempuan juga ingin mencoba hal yang sama. Dan seorang anak perempuan umumnya meniru sang ibu sedari berusia di bawah tiga tahun. Alhasil, sampai ketika berusia belasan tahun, akan ada banyak anak perempuan yang bisa barengan menggunakan atau mengenakan sesuatu yang sama dengan ibunya, entah itu baju, rok, aksesori rambut, tetapi tidak untuk sebuah giok yang membutuhkan penanganan khusus agar tetap awet. Di sisi lain, orang-orang zaman dulu juga sangat kental membedakan antara anak perempuan yang akan menikah ke luar menjadi keluarga orang lain, dan menantu yang menikah ke dalam menjadi anggota keluarga baru. Praktis, agar tidak menyinggung perasaan seorang anak perempuan, sang ibu pun mengarang sebuah pantangan bahwa seorang anak gadis, perempuan yang belum menikah, tidak diperbolehkan untuk mengenakan aksesori giok.
“Mengapa tidak boleh?” tanya anak perempuan.
“Kata orang tidak boleh,” jawab ibu seadanya.
Alasan sederhana inilah yang kemudian membuat aksesori giok menjadi identik dengan kenaan orang tua. Tetapi zaman telah berubah, di mana sekarang giok tidak lagi sesulit itu untuk dibentuk, dan lagi perempuan-perempuan milenial semua memiliki pendapatan masing-masing, entah itu dari jualan online atau pekerjaan-pekerjaan halal lainnya. Alhasil pantangan yang tidak beralasan itu kian luntur, dan tren aksesori giok di kalangan perempuan muda pun kian meluas.
Kita kembali pada tren aksesori giok di luar sana, seperti Tiongkok misalnya, baik kalangan artis hingga warga biasa sekalipun, rata-rata perempuan muda mereka memiliki giok. Mereka bahkan menganggap giok sebagai aksesori yang kaya akan manfaat, baik bagi kesehatan (baca di sini), menghalau energi negatif, hingga sebagai barrier untuk melindungi diri (baca di sini).
Satu kesimpulan, pantangan mengenakan aksesori giok bagi perempuan yang belum menikah adalah sebuah mitos yang beredar di kalangan suku Tionghoa Indonesia. Semua itu tidaklah sejalan dengan logika, dan juga tidak ada penjelasan yang dapat dijabarkan.


Foto: Alan Dawa Dolma / internet