Membeli Sebuah Kredibilitas


Oleh: Lea Willsen
Membeli barang online sering dikaitkan dengan peribahasa membeli kucing dalam karung. Tetapi, itu tergantung dengan siapa kita membelinya, dan segalanya tidaklah selalu negatif. Jika ada dari kita yang membeli barang dari seorang sahabat penulis (Mr. L)—yang fokus berjualan batu alam seperti giok, agate, dan sejenis lainnya—tentu saja peribahasa membeli kucing dalam karung tidaklah berlaku. Mr. L sangat anti berjualan barang palsu, dan sudah pasti setiap barangnya adalah asli. Tetapi, sempat sekali penulis mendapati Mr. L memiliki sebuah gelang giok palsu! Mengapa?! Padahal, penulis tahu Mr. L tidak mungkin tertipu oleh barang palsu tersebut.
Penasaran, penulis bertanya kepada Mr. L terkait keaslian gelang giok tersebut. Tanpa ragu dan tanpa sedikit pun mencoba menutupi kenyataan, Mr. L mengangguk dan mengiyakan kalau gelang tersebut memang adalah giok sintetik.
Jadi, Mr. L sekarang juga menjual kucing dalam karung?
Tentu saja tidak! Lanjut bercerita dari mana hingga giok sintetik itu bisa berada di tangan Mr. L, ternyata itu bermula ketika ia hendak membeli barang itu via chatting dengan seorang penjual asal Tiongkok. Karena sudah menjadi ciri perdagangan online, tidak akan ada barang yang dapat kita sentuh, timbang, dan amati dari dekat selain dari foto, Mr. L melakukan deal untuk membeli barang tersebut.
Lewat beberapa jam, sebelum barang dikirim, Mr. L baru menyadari adanya kejanggalan dari foto barang tersebut, yang sebenarnya memang dapat menunjukkan kalau barang tersebut adalah giok sintetik. Mr. L kembali bertanya kepada si penjual; apakah barang tersebut adalah giok natural?
Sama sekali tidak mencoba berkelit, si penjual menjawab kalau gelang giok tersebut memang barang sintetik. Mr. L bisa saja membatalkan pesanan, dan itu 100% bisa dilakukan. Tetapi, yang terjadi sahabat penulis itu tetap meminta pengiriman diproses, hingga jadilah kini ia memiliki sebuah giok palsu, di antara ratusan giok asli yang bertengger indah di etalase virtualnya.
Mengapa dibeli? Ternyata, Mr. L meminta gelang itu tetap diproses karena yang ingin dibelinya adalah sebuah kredibilitas. Keberadaan giok sintetik dan giok asli adalah hal biasa dalam dunia fashion. Ketika giok asli dengan harga selangit mungkin hanya menjadi milik mereka yang berada, giok sintetik menjadi opsi ekonomis bagi mereka yang ingin tampil fashionable tetapi tidak harus mengeluarkan biaya mahal. Perbedaannya hanyalah apakah si penjual jujur atau tidak dalam memberikan informasi. Karena si penjual dari Tiongkok telah memberi informasi yang jujur, Mr. L enggan untuk merusak nilai kredibilitas itu.
Jika begitu tahu itu barang palsu Mr. L lantas membatalkan pesanan, maka ke depannya si penjual mungkin enggan lagi mengakui kalau benda tersebut palsu, sehingga yang terjadi justru akan lebih banyak lagi pembeli yang menjadi korban. Mungkin benar, Mr. L menjadi ‘orang bodoh’ menurut penulis dalam cerita ini. Dan dalam seratus orang, mungkin hanya ada satu saja ‘orang bodoh’ seperti Mr. L. Tetapi, niat Mr. L adalah agar si penjual percaya bahwa kredibilitas tetaplah bernilai bahkan ketika barang yang dijual adalah barang palsu. Mengakui sesuatu yang tidak sempurna lebih baik daripada menipu dan menerima makian dari belakang. Mr. L berharap ke depannya si penjual akan tetap mengakui kondisi barang tersebut apa adanya terhadap setiap pembeli. Akan lebih baik lagi bila si penjual tidak lagi menjual produk palsu, meskipun benar bahwa untuk berjualan giok asli itu membutuhkan modal yang besar serta tidak semua penjual memiliki finansial yang memadai.
Lantas, mau diapakan sekarang giok sintetik itu?!
Mr. L terkekeh setelah sekian detik sempat ragu memberikan jawaban. “Mungkin saya akan menjualnya dengan menuliskan kata “SINTETIK” secara kapital pada bagian deskripsi, atau saya akan menghadiahkannya saja kepada seseorang,” ungkapnya kemudian.
Sedikit intermeso sebelum penulis mengakhiri cerita tentang ‘kebodohan’ Mr. L. Sahabat penulis ini mungkin adalah seorang penjual paling aneh. Ketika ada yang bertanya secara berulang terkait keaslian dari produk yang dijualnya, penjual lain mungkin akan berusaha keras meyakinkan calon pembeli, sementara Mr. L justru akan menjawab; Kalau ragu, tidak beli tidak apa-apa!
Bukan hanya itu. Berjualan batu alam tidaklah luput dari risiko menerima produk-produk cacat. Produk yang rusak parah akan langsung digudangkan Mr. L. Sementara untuk produk yang sedikit cacat tetapi masih layak jual, Mr. L akan menuliskan kondisi cacat dari barang tersebut secara kapital, bahkan huruf warna merah, disertai foto yang fokus pada bagian cacat tersebut.
Mr. L mungkin adalah seseorang, atau bahkan beberapa orang. Pada intinya, siapa pun dari kita yang menjunjung tinggi sebuah nilai kredibilitas—tak peduli apakah kita seorang bos, pegawai, atau driver ojek online—maka kitalah Mr. L!
Pada Situasi Lain
Kredibilitas adalah fondasi dari setiap hal yang kita kerjakan dalam melibatkan kepercayaan pihak lain. Selain hubungan antara penjual dan pembeli, prinsip Mr. L yang menjunjung tinggi sebuah kredibilitas bisa pula diterapkan pada situasi lain. Kita dapat membahas beberapa contoh di sini:
Situasi suami/istri. Banyak suami atau istri yang mungkin lebih memilih bersikap cenburu, curigaan, kalau-kalau pasangannya berpotensi selingkuh, apakah secara media online atau ketika dalam menghadiri suatu acara semacam reuni. Alhasil, hubungan sering memanas sebelum semua itu terjadi—atau sebelum sebuah perselingkuhan terbukti. Dalam hal ini, percayalah semua orang tidak suka hidup dalam cengkeraman. Sebaliknya, cobalah kita lebih menghargai kredibilitas, memberi kepercayaan kepada pasangan kita, dan biarkan dia tahu kalau dia adalah seorang yang dapat kita percaya, maka dia akan menjadi segan dan merasa rendahjika melanggar kepercayaan yang kita berikan.
Sama halnya dengan salah seorang sahabat penulis, sebut saja Mr. T. Jangankan berinisiatif mencoba hal-hal baru di era milenia seperti FaceBook, Instagram, hingga WA, dan lain sebagainya. Mr. T adalah seorang yang gaptek atau gagap teknologi. Tetapi, justru sang istrinyalah yang bantu membuatkan akun-akun di berbagai media sosial. Betapa indah dan berharganya hubungan yang saling menghargai kredibilitas. Coba saja bila sepasang suami istri itu bersikap lain, semisal sang istri enggan untuk mengajak suaminya dan justru sibuk secara bebas berselingkuh di sosial media, atau justru sang istri dengan sengaja enggan memperkenalkan hal-hal demikian dengan tujuan tetap mengekang suaminya, benar-benar hubungan yang tidak sehat.
Tak jauh berbeda dengan situasi kedua, antara majikan dan pembantu. Seorang majikan, kenalan penulis yang di sini kita sebut saja Mrs. M, sesungguhnya telah mengetahui kalau salah seorang pembantunya memiliki perangai buruk, mencuri segala sesuatu ketika memiliki kesempatan. Namun, di satu kesempatan Mrs. M benar-benar terdesak dan tidak memiliki pilihan lain selain meninggalkan sebuah tas kerja berisi uangnya kepada si pembantu. Jika ditinggalkan begitu saja, tentu sangat rawan kalau-kalau isi dalam tas itu akan ‘dibongkar’. Namun, untunglah Mrs. M memiliki sebuah ide bagus, di mana ia justru menyampaikan kepada si pembantu agar menjaga keutuhan dari isi tas tersebut. Karena diberi kepercayaan serta kehormatan untuk menjaga tas kerja sang majikan, pembantu bersangkutan menjadi merasa malu dan takut untuk melakukan hal yang tidak-tidak.
Situasi keempat, beberapa dari kita mungkin pernah merasa heran, mengapa di sebuah kelas itu, anak yang paling besar, paling nakal, dan paling usil justru diangkat guru menjadi ketua kelas. Hal ini tentu bukan karena sang guru linglung atau tidak mengetahui kenakalan anak tersebut. Justru, karena sang guru tak ingin anak tersebut terus-menerus menjadi ‘preman’ di kelas, maka diberikanlah sebuah tanggung jawab serta kehormatan, agar si anak terus berusaha menjaga semua itu.
Contoh situasi keempat, antara orangtua dan anak. Banyak orangtua mungkin sering memperlihatkan emosi berlebih terhadap anaknya yang dianggap melakukan kesalahan, baik disengaja ataupun tidak. Sikap demikian, sikap yang kurang menghargai pendapat si anak, seringnya justru merusak kredibilitas dari anak tersebut. Misalkan saja si anak telah melakukan suatu hal yang tidak ia yakini benar atau salah, dan karena berdasarkan pengalaman sebelumnya ketika mengakui suatu kesalahan ia dihajar habis-habisan oleh sang orangtua, maka untuk sekarang tentu ia enggan lagi untuk percaya kalau orangtuanya akan berpihak kepadanya. Jadi, solusi yang tepat tentu saja sebagai orangtua harus menjelaskan secara baik kepada si anak, sebisa mungkin menghindari kekerasan, kemudian tetap biarkan dia merasa nyaman agar tetap menceritakan segala sesuatunya. Tanamkan sugesti untuk menjadi seorang yang bertanggung jawab. Misalkan bila si anak merusak sebuah penggaris temannya, katakan kepadanya, “Anak Papa/Mama anak yang baik, kalau sudah merusak sesuatu, pasti selalu bertanggungjawab”. Si anak akan berpikir kalau ia bertanggungjawab untuk mempertahankan image baik tersebut di mata orangtuanya.
*