Jawaban di Kuil Dewa Zhong Kui


Oleh: Lea Willsen
868 Masehi.
Wei Qin An selalu menonjol dalam karirnya. Di masa muda ia lulus sebagai seorang pejabat dengan nilai terbaik, dihargai kaisar, dan sukses menjalankan berbagai bisnis keluarga yang kemudian menjadikannya sebagai seorang terkaya dari suatu daerah di mana ia tempati. Hampir tidak ada keinginan duniawi yang tidak dapat Wei dapatkan. Kecerdasan serta paras yang berkarisma membuat Wei dengan mudah dihargai siapa saja, sekaligus dengan mudah meraih berbagai posisi di pemerintahan. Pun berkat memiliki posisi yang baik, Wei dengan mudah memupuk harta.
Meskipun Wei telah memiliki seorang istri yang memberinya dua putri dengan kecerdasan serta paras yang tidak kurang dari dirinya, posisi tinggi serta harta yang melimpah lantas membuat beberapa kolega menyarankan Wei untuk mempersunting seorang istri muda. Jelas saja, bukan tanpa alasan saran itu dilontarkan kepada Wei.
Wei memang memiliki apa saja, termasuk sebuah keluarga yang harmonis. Tetapi, Wei mungkin tetap akan dipandang aneh, jika Wei tidak menunjukkan kesuksesannya dengan menambah anggota keluarga—seorang istri muda—dan Wei juga belum memiliki seorang putra di usianya yang mencapai kepala empat. Bagaimanapun tidak ada yang memungkiri pepatah yang berbunyi; banyak anak, banyak berkah.
“Aku sudah memiliki sebuah keluarga yang harmonis,” ungkap Wei kepada salah seorang kolega yang mendatanginya lima tahun silam. “Meskipun, kesehatan istriku masih kerap mencemaskanku....”
“Perempuan ini adalah sepupu Kaisar. Menurutmu, sikap apa yang akan ditunjukkan Kaisar bila kau menolak rahmat ini—rahmat yang mungkin diharapkan oleh sejumlah pejabat lain.”
“Kaisar berhati mulia. Aku akan meminta pemakluman atas semua ini.”
“Apakah... kau takut istrimu marah?”
Wei tersentak dan menoleh menatap lawan bicaranya dengan sepasang mata yang galak. “Aku adalah seorang pejabat tinggi, pemimpin dari keluarga ini.”
“Baiklah. Aku tahu, dia seharusnya mendukungmu, dan tidak ada hal yang patut kau khawatirkan.”
Wei menghela napas. Tidak mudah untuk menafsirkan apakah itu sebentuk  sikap kesal atau kekhawatiran yang gagal disembunyikan.
“Hampir setiap pejabat di daerah ini memiliki lebih dari satu istri. Lima, bahkan enam istri, dan itu adalah sebentuk kemakmuran yang membanggakan. Bagaimana dengan dirimu? Kau adalah seorang pejabat tinggi. Kau belum memiliki seorang putra pun. Dan sekarang kesehatan istrimu...”
“Aku akan mempertimbangkan saranmu.... Jika itu dengan tujuan untuk mendapatkan seorang penerus garis keturunan....”
Ketetapan hati Wei seperti sebuah ranting yang kuat menempel pada badan pohon. Tetapi, semakin banyak barang yang digantung pada ranting itu, semakin bertambah pula beban yang diterima ranting, dan pada akhirnya ranting itu mungkin akan membengkok atau bahkan patah. Berbagai kolega masih terus menyarankan Wei untuk menambah seorang istri muda, hingga pada akhirnya sebuah perjamuan di istana mempertemukan Wei dengan perempuan itu—perempuan yang selama ini disebut-sebut sebagai sepupu Kaisar.
Jantung Wei berdetak kuat ketika perempuan itu menuangkan arak tepat di hadapannya, lantas menebarkan aroma harum yang dengan lembut menyusup ke saluran pernapasannya. Ya, siapa pun tidak pernah membohonginya. Perempuan itu memiliki wajah jelita yang teramat sangat. Jika itu dibandingkan dengan istrinya, tidak berlebih bila menganggap perempuan itu limapuluh kali lebih cantik!
Sang ‘ranting pohon’ kuat—Wei yang bertahun-tahun tetap pada pendirian untuk hanya memiliki seorang istri—pada akhirnya ‘patah’ dan memutuskan untuk memiliki seorang istri muda.
“Apakah kamu merestui keinginanku ini?” Wei bertanya kepada istrinya pada suatu malam. Ia duduk di tepi ranjang, setelah hampir satu bulan ia tidak pernah mendatangi kamar itu, semenjak berhubungan dengan sepupu Kaisar nan jelita.
“Aku akan turut berbahagia untukmu,” balas sang istri seraya memasang senyum. Meskipun Wei tetap menyadari mata perempuan yang telah dua dekade menjadi istrinya itu terlihat basah ketika menatapnya.
“Semua ini demi seorang penerus garis keturunan Wei.” Wei Qin An berusaha agar tidak terlihat sebagai seorang pengkhianat di mata istrinya. “Tidak. Kau tetap adalah yang kuutamakan. Setelah kau sehat, kita juga akan kembali melahirkan seorang putra. Dan... dan...” Diraihnya tangan sang istri.
“Kau tidak perlu merasa bersalah. Semua ini salahku. Aku telah membiarkanmu bersabar terlalu lama untuk kehadiran seorang putra.”
Ya, limabelas tahun—tak lama setelah melahirkan putri kedua—istri Wei mengidap suatu penyakit misterius yang membuat kulit sekujur tubuhnya berubah kering, pecah-pecah, dan kadang kala bernanah—mengeluarkan aroma busuk—yang lantas menjatuhkan rasa percaya dirinya untuk tampil di depan umum, selain mengurung diri di kamar selama delapan tahun terakhir. Ia memang bukan seorang perempuan cantik ketika diperistri oleh Wei, selain berlandaskan hubungan baik yang terjalin sejak kecil. Namun, kini ia benar-benar berubah menjadi seorang yang berwajah menakutkan. Mungkin siapa saja akan mengira bertemu dengan sesosok arwah penasaran, jika istri Wei menyempatkan diri untuk berjalan di luar pada malam hari. Tentu saja, ia tidak akan pernah melakukan hal itu. Lagipula, ia selalu merasa terlalu lemah untuk berjalan jauh, semenjak lama mengurung diri di dalam kamar itu.
Benar saja, tak lama setelah memiliki istri muda, Wei merasa dirinya semakin percaya diri di hadapan para koleganya. Sudah limabelas tahun ia selalu ke mana saja sendirian bagai seorang yang tak beristri, dan kini ia ditemani oleh seorang istri yang berparas jelita. Pun satu tahun setelah pernikahan kedua itu, Wei dikaruniai seorang putra yang lama dinantikan olehnya.
Empat tahun berlalu. Mengajarkan filsafat kepada putranya seraya diiringi alunan kecapi dari sang istri muda, kehidupan Wei seakan raja kecil yang tidak pernah menghadapi kekhawatiran apa pun. Ia semakin jarang untuk mengunjungi kamar gelap istri pertamanya, seakan tak peduli terhadap apa pun yang terjadi di sana, apakah kondisi sang istri membaik atau malah memburuk, sebelum akhirnya kedatangan seorang tabib yang diperkenalkan istri mudanya.
“Anda harus mengambil keputusan demi keluarga ini. Penyakit Nyonya adalah sebuah kutukan, dan tidak akan ada obat yang dapat menyembuhkannya.”
“Aku meminta Anda untuk datang menyembuhkan istruku, dan bukan untuk menakutiku!” Wei memukul meja dan menyentakkan sang tabib yang dengan lekas bangkit dari kursi, lantas memberi hormat di hadapannya dengan sepasang tangan yang gemetaran.
“Mohon pengampunan! Sebagai adik ipar dari istri Anda, aku tidak berani berkata salah. Dan aku mempertaruhkan nyawaku untuk mengungkapkan kenyataan ini kepada Anda!”
“Justru karena kalian adalah...” Wei menunjuk muka si tabib dengan sikap geram, tetapi kalimatnya terhenti bertepatan dengan jemari-jemari kecil putranya yang menjambak pakaiannya. Ditatapnya wajah mungil itu, kemudian berpindah kepada wajah sang ibu anak itu—istri mudanya.
Teori konspirasi. Wei sudah menangani ratusan kasus sejenis di ruang persidangannya. Dan tidak menutup kemungkinan jika apa yang terjadi di keluarganya kali ini juga merupakan kasus serupa, di mana sang istri muda mendatangkan iparnya yang disebut-sebut sebagai seorang tabib sakti yang menguasai ilmu pengobatan sekaligus metafisika, lantas menyatakan kalau dia harus...
“Tadi kau mengatakan apa yang harus kulakukan...?”
“Mengantar Nyonya ke gunung, kemudian pulang dan mengadakan sebuah upacara kematian yang besar, lantas mendoakan arwah Nyonya agar diterima di surga.”
“Kau memintaku untuk mengantar seorang hidup ke gunung, lantas baru mengadakan upacara kematian?!” Wei mempelototi tabib sakti di hadapannya.
“Ini adalah sebuah kutukan. Nyonya tidak akan sembuh lagi. Arwahnya terperangkap di kediaman ini, karena tubuhnya yang kini terlihat hidup adalah dikendalikan oleh arwah jahat. Tujuan kita melakukan semua ini agar arwah jahat dapat diusir dari kediaman ini, lantas arwah Nyonya dapat diterima di surga.”
“Bagaimana kau membuktikan ucapanmu?!”
“Arwah jahat menyukai ruang yang gelap, dan tidak berani terkena paparan sinar matahari....”
“Hanya itu?!” bentak Wei keras. Di sebelah, putranya tersentak dan menangis tanpa suara.
“Keputusan ada di tangan Tuan Wei. Aku juga tidak berani mendesak Anda. Sama sekali tidak.” Mata sang tabib bekerjap beberapa kali. “Aku hanya mengatakan apa yang kuketahui. Jika Anda membiarkan semua ini hingga tubuh Nyonya dengan sendiri kehilangan daya hidup, maka arwah jahat akan semakin bertambah kuat, lantas mencari sebuah tubuh lain dalam keluarga ini sebagai pengganti. Dan arwah jahat biasanya akan mengincar tubuh yang paling lemah, seorang tua, atau seorang anak di bawah lima tahun.”
Anak di bawah lima tahun?!
Wei mengatup sepasang mata, memijat keningnya, tidak berkata apa pun. Bagaimana jika apa yang dikatakan tabib tidak benar? Tidak! Bagaimana jika yang dikatakan tabib adalah benar?! Ia hanya memiliki seorang putra, dan ia tidak ingin kehilangan apa pun. Wei harus dengan lekas mengambil keputusan sebelum segalanya terlambat. Dan Wei benar, keputusan apa pun yang diambil, terlepas apakah benar atau salah, pada akhirnya ia tetap harus dihantui oleh perasaan bersalah hingga seumur hidup.
Hari ini, satu tahun berlalu sejak Wei Qin An mengambil keputusan itu. Meskipun ia kini tetap memiliki sebuah keluarga yang harmonis bersama istri mudanya yang telah menemaninya selama lima tahun, ia tetap merasa kehilangan sesuatu yang tidak tergantikan. Tahun lalu, mungkin ia mengambil keputusan yang benar. Mungkin juga ia mengambil keputusan yang salah. Dan mungkin ia berdosa, sehingga ia harus setiap malam didatangi sosok itu. Ya, sosok yang benar-benar berparas buruk dan menakutkan.
Bukankah tujuan dari upacara kematian itu adalah untuk mendoakan arwah istrinya untuk diterima di surga? Lantas, siapa yang kini setiap malam masih mendatanginya? Wei memejamkan mata. Kembali terbayang seraut wajah hancur berlumur nanah yang setiap malam mendatangi mimpinya disertai suara tangisan yang memilukan.
Wei Qin An.... Kembalikan nyawaku...! Kembalikan segalanya kepadaku...! Berikan aku keadilan...!
Beberapa kalimat yang sering diucapkan sosok menyeramkan di dalam alam bawah sadar itu kembali terngiang. Wei bergidik. Tidak, ia harus segera menyelesaikan masalah itu, apakah itu dengan cara menebus dosanya, ataukah... mengusir arwah itu? Wei berharap hari ini segalanya akan terjawab di sini—sebuah kuil Dewa Zhong Kui. Ditengadahkannya kepala, menatap lurus pada sesosok patung raksasa dewa berjubah merah menyala. Sesuai yang diceritakan orang-orang, Dewa Zhong Kui kerap dilukiskan memiliki paras menyeramkan yang tidak hanya membuat manusia gentar, tetapi juga para arwah. Wajah berkulit gelap itu terlihat memasang ekspresi marah. Sepasang alis terlihat tebal dan membengkok ke atas di kedua ujung, kemudian berewok tebal yang memenuhi bagian rahang. Bola matanya merah, semerah nyala api. Sebilah pedang berada di genggaman tangan sebelah kanan.
Wei menghela napas dengan perasaan gusar. Benarkah ia harus memohon kepada Dewa Zhong Kui untuk memusnahkan arwah yang setiap malam mendatangi mimpinya?! Arwah yang—mungkin—semasa hidup telah melahirkan dua putri untuknya. Ini adalah keputusan berat. Tetapi, jika Wei hari ini sudah menapaki kuil Dewa Zhong Kui, tentu tekadnya telah bulat. Antara dirinya dan arwah penasaran itu tak lagi harus berurusan. Arwah itu memiliki paras yang terlalu menakutkan. Arwah itu pastilah arwah jahat yang menginginkan nyawanya.
Tak lama, seorang pria tua penjaga kuil muncul menghampiri Wei. “Anda sudah menunggu lama, Tuan Wei?” tanya pria tua yang mengenakan jubah abu-abu itu seraya tersenyum. Jika kepalanya masih berambut, sudah tentu warna rambut itu telah memutih dan serupa dengan warna sepasang alis tipisnya.
“Tidak. Aku juga baru tiba belasan menit lalu.”
Sepasang alis pria tua penjaga kuil merapat. “Wajah Tuan terlihat gelap dan diliputi kekhawatiran. Apakah Tuan kurang enak badan?”
Wei tidak menjawab. Apa yang dikatakan penjaga kuil tak ada yang salah sebenarnya. Setahun terakhir ia memang sering merasa tidak enak badan, kurang bertenaga, dan tidak bersemangat. Mungkin ini adalah perbuatan arwah jahat yang setiap malam mengganggunya. Dan Wei sebenarnya malu mengakui semua itu.
“Apa tujuan kedatangan Tuan?”
“Aku ingin berdoa kepada Dewa Zhong Kui agar terbebas dari arwah gentayangan istriku yang setiap malam masih... mendatangiku.”
“Arwah gentayangan istri Anda?”
“Ya. Wajahnya sangat menyeramkan dan... dan...”
“Apa penyebab kematian istri Anda?”
“Dia... sakit...,” jawab Wei dengan nada ragu.
“Apakah istri Anda semasa hidup jahat?”
“Tidak,” Wei kali ini menjawab tanpa ragu. “Sebenarnya..., mungkin akulah yang telah berbuat jahat kepadanya, sehingga setiap malam ia kembali untuk menggangguku.”
“Apa perbuatan jahat yang Anda lakukan terhadapnya?”
“Itu...” Wei tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Jika Tuan yang berbuat salah kepada arwah itu, maka janganlah berharap Dewa Zhong Kui akan membantu Anda. Dewa Zhong Kui berparas buruk, tetapi berhati baik. Tidak akan ada bantuan bagi seorang berparas baik, tetapi berhati buruk.”
Geraham Wei bergemeretak. Ini pertama kalinya ia menerima kalimat yang bagaikan tamparan keras untuknya. Bukan dari Kaisar ataupun pejabat lainnya, melainkan dari seorang pria tua penjaga kuil.
“Sebenarnya, aku menyesali semua ini.... Istriku memang telah sakit selama limabelas tahun. Tetapi ia tidak meninggal karena penyakitnya. Tahun lalu, akulah yang mengantarnya di pegunungan di sekitar sini, lantas meninggalkannya.”
Penjaga kuil terperangah. “Apakah, istri Anda adalah seorang dengan penyakit kulit.”
“Ya! Anda mengetahuinya?! Apakah Dewa Zhong Kui memberikan Anda petunjuk? Setelah menjadi arwah gentayangan, sekarang paras istriku semakin menakutkan. Dia telah berubah menjadi arwah yang sangat jahat! Apa yang harus kulakukan untuk terlepas darinya?”
“Hmm....” Penjaga kuil menggelengkan kepala. “Sejak Tuan meninggalkannya di pegunungan, sebenarnya Tuan telah melepaskan ikatan jodoh secara sepihak.”
“Tapi, arwah itu masih terus mendatangiku....”
“Tuan yakin...?” Kening si pria tua mengerut.
Wei tidak menjawab.
“Bagaimana jika kukatakan kalau ikatan jodoh yang masih tersisa justru adalah antara diri Tuan dan karma buruk Tuan.”
“Aku tidak mengerti tentang karma. Bagaimanapun manusia dan arwah tidak mungkin lagi terus bersama, dan Dewa Zhong Kui harus membantuku melepaskan diri, atau memusnahkan arwah jahat berparas buruk itu.”
“Tidak cukupkah Anda memusnahkannya sekali dalam kehidupan Anda, Tuan? Dan Anda ingin kembali memusnahkannya untuk yang kedua kali?”
Alis Wei terangkat. Ia hampir mengangguk. Tetapi, gerakan itu terhenti.
“Jika Anda berpikir arwah itu jahat karena berparas buruk atau menakutkan, maka hari ini Anda tidak seharusnya berada di sini.” Penjaga kuil menunjuk sepotong perkamen sepanjang satu setengah meter yang digantung pada dinding sudut ruangan. “Perkamen itu berisi riwayat hidup Dewa Zhong Kui. Di masa lalu, Dewa Zhong Kui adalah seorang pejabat tinggi seperti Anda. Ia bahkan mungkin lebih cerdas dari Anda. Tetapi, ia kurang beruntung karena tidak memiliki paras sesempurna Anda, kemudian jabatannya ditarik hanya karena hal itu—hanya karena wajahnya menakutkan bagi siapa saja. Padahal, Dewa Zhong Kui adalah seorang pejabat yang berhati baik serta mulia.”
Telinga Wei terasa panas. “Saat itu Dewa Zhong Kui masih hidup, dan sekarang istriku telah menjadi arwah penasaran.” Ia mencoba berargumen ringan.
“Tidak juga. Pada akhirnya sebagai wujud protes atas ketidakadilan yang diterimanya, Dewa Zhong Kui membenturkan kepala pada dinding di hadapan Kaisar, dan meninggal seketika. Atas tindakan mengakhiri hidup tersebut, Dewa Zhong Kui seharusnya berada di neraka. Tetapi Dewa Zhong Kui mencatat banyak karma baik semasa hidup, sehingga paras buruk itu justru membuat dirinya diangkat sebagai sesosok dewa pengusir arwah jahat. Dan...”
“Pak Tua!” sekonyong-konyong Wei membentak. “Aku hanya butuh jawaban, apakah hari ini masalahku bisa diselesaikan di sini atau tidak! Tolong segera beritahu aku cara untuk memusnahkan arwah jahat yang setiap malam menghantuiku!”
“Ikutilah aku jika itu yang Anda inginkan,” jawab pria tua setelah terdiam lama. Ia membalikkan badan dan berjalan menuju suatu tempat di bagian belakang kuil.
Wei lekas mengekor dengan jantung yang berdegup kencang. Bukankah sedari awal begitu saja akan sangat baik? Jangankan jika ia harus melakukan suatu ritual atau menyalakan dupa. Bahkan jika ia harus bantu merenovasi kuil Dewa Zhong Kui agar menjadi lebih kokoh dan mewah, ia ikhlas menyanggupi semua itu. Asal ia dapat benar-benar terlepas dari cengkeraman arwah istrinya.
Namun siapa sangka, penjaga kuil ternyata tidak meminta Wei melakukan apa pun, selain menunjukkan kepadanya seorang perempuan yang tengah menyibukkan diri merawat berbagai tanaman obat di halaman belakang kuil. Wei amat terkejut mendapati sosok perempuan itu. Meskipun jaraknya kini berdiri masih belasan meter dari tempat berdirinya perempuan itu, tidak sulit baginya untuk mengenali perempuan itu—perempuan yang telah memberikannya dua orang putri di masa lalu.
“Bagaimana mungkin...?” Wei menoleh cepat kepada penjaga kuil yang berdiri di sampingnya. Ya, bagaimana mungkin istri Wei masih hidup? Ataukah itu adalah orang lain dengan wajah dan postur yang sama persis? Ataukah... itu adalah sosok arwah gentayangan yang setiap malam hadir di dalam mimpinya?
“Tuan ingin kembali memusnahkannya untuk kedua kali? Sekarang ia berada di sini, setelah tahun lalu salah seorang muridku menyelamatkan hidupnya dari segerombolan serigala gunung.”
“Istriku masih hidup...?” tanya Wei dengan suara bergetar. “Lalu sosok apa yang setiap malam mendatangiku itu?”
“Itu adalah karma, sebab-akibat, perwujudan dari rasa bersalah dan takut yang bersemayam di dalam alam bawah sadar Anda....”
*